Indonesia adalah bangsa yang kaya akan budaya karena memiliki bermacam-macam suku bangsa di dalamnya. Namun etnisitas yang seharusnya menjadi tonggak budaya bangsa semakin hari semakin tergantikan oleh pengaruh budaya asing. Menurut Yasraf Amir Piliang (2003), globalitas dan lokalitas merupakan dua sifat yang saling bertentangan satu sama lain secara oposisional. Dalam pandangan budaya lokal, perkembangan budaya global yang mengalami benturan dengan budaya lokal dianggap sebagai ancaman. Hal ini terjadi akibat adanya berbagai ketidakcocokan, ketidaksetaraan atau ketidakharmonisan.
Budaya global telah mempengaruhi masyarakat lokal atau etnis, yang akan mengubah cara hidup, gaya hidup, bahkan pandangan hidup, sehingga akan mengancam eksistensi budaya lokal. Hal tersebut dapat dilihat pada penggunaan bahasa daerah yang semakin berkurang, sedangkan penggunaan bahasa asing yang semakin banyak digunakan. Pengaruh asing yang masuk ke Indonesia mendapatkan perhatian dari para pelaku budaya di tanah air. Akibat arus globalisasi, bahasa asing digunakan sebagai bahasa utama karena dianggap dapat menaikkan derajat bagi pemakainya. Secara tidak sadar, identitas Indonesia sebagai bangsa yang mandiri dan berbudaya kalah oleh hegemoni budaya asing.
Sejak dulu pengaruh bahasa asing terhadap bahasa persatuan, bahasa Indonesia sudah terjadi sebagai akibat dari 350 tahun penjajahan Belanda dan tiga tahun lebih penjajahan Jepang. Selain itu, pada proses penyebaran agama-agama yang datang dari negara lain. Bahasa negara-negara tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia. Penyerapan kata dengan “mematikan” ejaan asli bahasa asing, kemudian mengejanya sesuai dengan lafal Melayu merupakan proses akulturasi yang wajar. Namun penyerapan, pengadopsian, dan pemakaian kata-kata asing secara terang-terangan tanpa mengikuti kaidah berbahasa Indonesia yang tepat, akan mengganggu keindahan penyajian bahasa Indonesia.
Keberadaan beragam suku di Indonesia, dengan beragam bahasa, seharusnya memperkaya bahasa Indonesia tanpa mempergunakan bahasa asing. Bahasa daerah mempunyai peran aktif dalam kekayaan bahasa Indonesia, yang berarti pula lokalitas memang benar-benar penentu budaya nasional. Hal itu semakin dilupakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena mengejar arus globalisasi. Munsyi (2000) mengatakan bahwa bangunan bahasa daerah dapat terangkat menjadi bahasa yang berharkat, bermartabat, antara lain melalui kebebasan kreatif para pengguna aktif bahasa Indonesia tulis, dengan karya-karyanya yang dicipta beralaskan pada gagasan estetik dan diwujudkan berdasarkan pertimbangan artistik.
Di Bogor, penggunaan bahasa Sunda semakin berkurang. Penduduk kota Bogor yang saat ini sebagian besar adalah pendatang, tidak dapat menggunakan bahasa Sunda dengan baik. Penduduk asli yang berdarah Sunda pun kurang mengangkat bahasa lokal, seolah-olah berbahasa daerah adalah hal yang ketinggalan zaman. Gaya bahasa ibukota banyak digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari. Hal ini mengakibatkan orang Sunda banyak yang tidak fasih berbahasa Sunda, bahkan tidak mengenalnya sama sekali.
Kalaupun ada beberapa orang yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari, dapat dipastikan bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Sunda dalam kategori kasar. Alasan tersebut yang menjadikan para orang tua mendidik anak-anak mereka dengan bahasa Indonesia. Selain itu, sebagian besar penduduk kota Bogor merupakan pendatang dari daerah-daerah lain, sehingga penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional memudahkan komunikasi di antara beberapa golongan suku yang berbeda.
Ketika bahasa asing mulai masuk ke lingkungan sekolah, dalam waktu singkat dapat menjadi bahasa favorit para siswa. Keberadaan bahasa asing dalam daftar muatan lokal menjadi pesaing utama eksistensi bahasa Sunda sebagai bahasa daerah. Siswa yang tidak diperkenalkan terhadap bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari, secara otomatis lebih tertarik terhadap bahasa asing dan segala kebudayaannya sebagai sesuatu yang baru dan bersifat internasional dan luas.
Salah satu pembawa pesan dan pengaruh asing ke Indonesia adalah media, baik elektronik maupun cetak. Produk budaya asing berhasil menarik perhatian anak negeri, lalu sedikit demi sedikit demi sedikit menyingkirkan produk lokal. Serangan media asing yang semakin gencar, jelas tidak mendapatkan perlawanan yang seimbang dari media lokal. Saat cerita-cerita Naruto dan Power Rangers semakin menguasai dunia imajinasi anak bangsa, cerita Kabayan justru semakin menghilang ditelan zaman. Media cetak berbahasa Sunda memiliki oplah yang semakin menurun karena kurangnya minat pada pembaca.
Mahasiswa yang merupakan generasi penerus bangsa pun mulai kehilangan identitas sebagai bagian dari bangsa yang berbudaya. Usaha-usaha memperkenalkan budaya daerah yang semakin menghilang menjadi penentu keberlangsungan dan keberadaan budaya Sunda, sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa.
Tidak ada salahnya mengenal budaya asing, terutama jika dapat menggali nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa kita memiliki lokalitas yang perlu dipertahankan bukan semata sebagai warisan orang tua. Kebudayaan yang telah dilakukan secara turun-temurun melalui proses interaksi manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam memiliki nilai luhur yang merupakan payung untuk keberadaan manusia di tempat hidupnya.
Keinginan menuju dunia global sebaiknya diimbangi dengan pertahanan yang kuat dalam budaya lokal. Pengetahuan yang luas mengenai kebudayaan asing seharusnya memperkaya kita untuk membuat inovasi sebagai budaya tanding demi mempertahankan identitas negeri sendiri, identitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar