Selasa, Juni 8
Waspada Terhadap Kaki Gajah
Apa sih Penyakit Kaki Gajah??
Filariasis atau Penyakit Kaki Gajah merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing Filaria, dan penyebarannya melalui nyamuk. Penyakit ini berupa pembengkakan kaki, lengan bahkan alat kelamin pada wanita ataupun laki2.
Ada 23 jenis nyamuk yang bisa menularkan cacing filaria kedalam tubuh manusia. Cacing filaria ini 'tinggal' di dalam kelenjar getah bening pada siang hari, dan hanya keluar ke saluran darah pada malam hari. Nah, nyamuk pada malam hari lah yang banyak menularkan cacing ini. Gejala filariasis tidak dapat terdeteksi sejak dini, karena penderita kaki gajah biasanya terinfeksi penyakit tersebut 15 tahun sebelumnya.
Ada 3 macam obat yg diberikan kepada masyarakat pada program ini.
Yang pertama adalah Diethyl Earbamazine Citrate (DEC), obat untuk membunuh Cacing Filaria,
Kemudian Albendazole untuk membasmi cacing perut,
Dan yang terakhir adalah Paracetamol, yang diminum hanya jika mengalami sakit kepala setelah meminum kedua obat diatas.
Pemberian obat2 ini dosisnya berbeda2 sesuai klasifikasi usia, yaitu 2-5 tahun, 6-14 tahun, dan 14 tahun keatas. (Bagi yang belum mendapatkan obat tersebut, bisa datang langsung ke Dinas Kesehatan Kota Bogor.)
Walaupun program ini bertujuan baik, bukan berarti tanpa hambatan. Masyarakat memiliki ketakutan untuk meminum obat yang diberikan oleh Dinas Kesehatan Kota karena terjadi beberapa kasus keracunan di beberapa daerah. Namun Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih, mengatakan penyebab kematian tersebut akibat penyakit yang diderita korban sebelumnya, bukan akibat obat. Efek obat antifilariasis tergantung kondisi pasien, memang bisa menimbulkan bahaya antara lain jika dosisnya tidak tepat.
Tidak semua orang bisa bebas meminum obat-obat ini, karena Dokter menyarankan bagi penderita penyakit-penyakit kronis seperti hipertensi agar tidak meminumnya. Begitu juga dengan orang yg sedang menderita demam tinggi agar menunda minum obat tersebut sampai demamnya turun. Ibu hamil dan menyusui, disarankan tidak meminum obat tersebut hingga anaknya berusia 2 tahun.
Upaya pencegahan penyakit kaki gajah (dan penyakit-penyakit lainnya) tentu bukan hanya dengan meminum obat. Pola hidup sehat merupakan kunci terpenting yang harus diperhatikan. Jika kondisi tubuh kita baik dan kondisi lingkungan bersih, insya Allah kita akan terhindar dari sumber penyakit. Maka mari menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan sekitar kita. Bagaimanapun, mencegah tetap lebih baik daripada mengobati.
* Semoga kita selalu diberikan kesehatan jasmani dan rohani. Amin. :)
Dari Golek ke Perda
Saya tidak akan membahas mengenai wayang golek sebagai salah satu kesenian tradisional yang sudah tertinggal jaman seperti tulisan saya dua tahun lalu (bisa dibaca di sini, tulisan seriusnya di sini). Tentu saja bukan karena saya sudah tidak peduli terhadap budaya bangsa yang semakin pincang ditendang westernisasi, tetapi karena ada satu hal yang lebih menarik perhatian saya saat ini.
Seminggu yang lalu, saya dibingungkan oleh sebuah peraturan daerah yang saat ini sedang hangat-hangatnya padahal Perda tersebut dibuat Tahun 2009, yaitu tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Saat itu (sampai sekarang pun) saya bingung karena tidak ada sosialisasi mengenai petunjuk teknis pelaporan jika terjadi pelanggaran pada perda tersebut. Maksud saya, peraturan tersebut hanya seperti himbauan yang (ujung-ujungnya) tidak akan dipedulikan masyarakat (pembahasan lebih lanjut silahkan baca di sini).
Nah, malam ini, saat saya menonton wayang golek di halaman balai kota, saya teringat kembali akan slogan Kawasan Tanpa Rokok yang sering saya jumpai di tempat-tempat tertentu dengan tulisan extra besar.
Beberapa hari yang lalu saya mendapat brosur yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kota Bogor mengenai KTR (di sini pun lagi-lagi tidak ada petunjuk teknis pelaporan). Brosur tersebut berisi beberapa hal yang perlu diketahui masyarakat mengenai KTR, termasuk lokasi-lokasi KTR. Lokasi-lokasi tersebut meliputi tempat ibadah, tempat bermain/berkumpulnya anak-anak, kendaraan umum, lingkungan proses belajar mengajar, sarana kesehatan, dan tempat umum lainnya termasuk tempat kerja. Disebutkan pula bahwa kantor pemerintah baik sipil maupun TNI/POLRI adalah salah satu tempat yang termasuk dalam KTR.
Dalam brosur tersebut dijelaskan bahwa KTR adalah tempat dan ruangan yang dinyatakan DILARANG untuk merokok, memproduksi, menjual, dan mengiklankan rokok.
Nah, saya heran kenapa malam ini orang yang menonton wayang golek bisa bebas merokok (bahkan berjualan) di Balai kota yang seharusnya bebas dari asap rokok? Apakah karena malam ini ada pertunjukan wayang golek yang merupakan rangkaian kemeriahan ulang tahun Bogor, jadi pemerintah memberikan dispensasi?
Kalau begitu, nanti pasti akan ada dispensasi pada saat ada acara lain lagi. Acara lagi, dispensasi lagi. Acara lagi, dispensasi lagi. Akan selalu ada dispensasi, pengecualian. Pada akhirnya aturan yang dibuat (dengan tujuan yang baik) menjadi cacat, dan memperlihatkan bahwa pemerintah tidak konsisten dalam membuat suatu aturan. Menjilat ludah sendiri.
Saya setuju dengan ungkapan atau peribahasa dari salah satu tokoh wayang (maaf, saya lupa nama tokohnya): Peuteuy mah hileudna teu ti luar, tapi ti jero. Atau dalam bahasa Indonesia: Petai itu ulatnya bukan dari luar, tapi dari dalam.
Analogi peuteuy dalam kalimat tersebut bisa merujuk kepada sebuah peraturan. Tokoh wayang tersebut menjelaskan bahwa peraturan itu biasanya rusak bukan karena pihak luar, tetapi karena pihak pembuat peraturan itu sendiri. Misalnya, siapa yang membuat Undang-undang mengenai korupsi? Lalu siapa yang melakukan korupsi? Tukang becak kan tidak korupsi.
Sama halnya dengan korupsi, perda KTR pun akhirnya dirusak oleh si pembuat peraturan itu sendiri. Seharusnya pemerintah bisa konsisten dalam memberlakukan atau menerapkan peraturan yang telah dibuatnya, sehingga masyarakat bisa menghargai dan patuh pada peraturan tersebut. Jangan sampai masyarakat berpikir “ah, kemaren juga gak apa-apa”.
Tetapi hal ini kembali pada kesadaran semua pihak, bagaimana dia bisa menempatkan diri dalam lingkungan sosialnya tanpa merugikan orang lain. Jika kesadaran itu sudah kita miliki, tentu kita tidak perlu dibebani oleh berbagai aturan yang malah membuat kita terpaksa melakukannya.
Ada satu kejadian (yang menurut saya) lucu. Pada saat menonton, di samping saya ada bapak yang menonton bersama istri dan kedua anaknya. Tiba-tiba dia mencolek saya dan terjadilah percakapan seperti ini:
Si Bapak: maaf ya, saya mau ngerokok, boleh kan?
Si saya: saya sih ngga apa-apa, cuma kesian anak bapak kena asep rokok.
Si Bapak: oh, kalo anak saya sih ngga apa-apa (dengan muka tanpa dosa).
Jujur, saya sangat kaget dan merasa lucu. Kenapa dia harus meminta izin kepada saya padahal ada dua anaknya yang masih kecil dan akan sangat dirugikan oleh asap rokoknya (walaupun saya juga merasa dirugikan dengan asap rokok itu). Apakah bapak itu lebih merasa tidak enak kepada orang lain daripada memperhatikan kesehatan anaknya? Lagi-lagi tentang kesadaran.
Bogor, 03 Juni 2010
*Selamat ulang tahun Bogorku*
Kamis, Juni 3
Tradisional; Tradisi yang Tidak Nasional
Sungguh keadaan yang berbanding terbalik ketika sebuah konser band yang digelar. Semua anak muda di Bogor seolah-olah berkumpul di tempat yang sama, rela berdesakan hanya demi berjingkrak-jingkrak di hadapan sang idola, meskipun akhirnya pingsan juga karena kehabisan nafas.
Pertunjukan Wayang Golek sepintas hanya sebuah hiburan, yang bisa membuat orang tertawa, bahkan terpingkal-pingkal. Namun di balik itu terkandung nilai-nilai religi dan kemanusiaan. Sayangnya, kesenian Jawa Barat ini (lagi-lagi seperti kesenian tradisional lainnya) semakin terseret oleh kemajuan jaman. Para sesepuh bersusah payah mengembangkan kesenian yang termasuk teater tutur ini, tetapi anak muda sudah kadung sibuk mengejar modernisasi. Ironis.
Tidak dapat dipungkiri, hal-hal yang sudah ada sejak jaman baheula semakin jauh tertinggal. Memang, ada beberapa pihak maupun individu yang senantiasa mencintai dan melestarikan kesenian tradisional yang merupakan budaya bangsa. Tapi berapa banyak? Dan sampai kapan akan bertahan??
Antusiasme generasi muda, khususnya di Bogor, terhadap seni dan kebudayaan tradisional hampir tidak ada. Bisa jadi bukan benar-benar tidak suka, tetapi karena tidak mengenalnya. Seperti kata pepatah; Tak kenal maka tak sayang, dan pelaku dengan objek adalah dua hal yang saling berkaitan.
Belasan tahun yang lalu, kesenian Sunda sering ditampilkan dalam berbagai acara hiburan di kampus, acara pemerintahan, hingga acara resepsi pernikahan dan sunatan. Mulai dari reog, calung, sampai jaipongan. Namun saat ini acara-acara semacam itu jarang diadakan. Pagelaran-pagelaran kesenian hanya di tempat-tempat tertentu, dan jarang dengan media publikasi yang jor-joran. Sembunyi-sembunyi, seperti perang gerilya. Padahal yang akan ditampilkan adalah sesuatu milik bangsa, yang seharusnya semua masyarakat mengenalnya.
Acara hiburan yang ditampilkan di setiap panggung pertunjukan hampir tidak pernah menampilkan kesenian tradisional. Di setiap sudut pusat perbelanjaan maupun tempat nongkrong menyuguhkan menu hiburan dengan sajian berbau masa depan. Kain dan kebaya bersaing dengan kaos-kaos ketat tanpa lengan dengan pinggul yang bergoyang merangsang. Suling, kecapi dan seperangkat gamelan tertelan tabuhan drum dan kebisingan alat musik elektrik. Pertunjukkan Reog dan Calung terselip diantara ribuan film-film bioskop dan DVD, dari mulai holywood sampai bolywood. Bubuy Bulan dan Manuk Dadali kalah pamor oleh lagu-lagu Peterpan dan Kangen Band. Keaslian tarik-menarik dengan dunia gemerlap. Glamour.
Berapa banyak anak-anak yang mengetahui lagu-lagu daerahnya? Bandingkan dengan berapa banyak anak-anak yang hafal lagu Teman Tapi Mesra? Perbandingan yang sangat menyedihkan.
Lagu daerah adalah bagian kecil dalam penggunaan bahasa daerah itu sendiri. Seseorang yang terbiasa menggunakan suatu bahasa akan tertarik untuk mendengarkan lagu-lagu dalam bahasa tersebut, karena dengan mudah bisa memahami makna di balik lagu tersebut. Setelah itu, tentu tidak akan sulit untuk menghafalkan sebuah lagu. Namun lagi-lagi itu adalah sebuah masalah. Coba saja lihat penggunaan bahasa daerah. Bogor, yang notabene adalah tanah Sunda, tetapi penggunaan bahasa Sunda sebagai bahasa percakapan sehari-hari hampir tidak terdengar. Sebagian penduduk kota Bogor memang pendatang yang bukan suku Sunda, sangat dimaklumi jika mereka tidak bisa mengerti bahasa Sunda atau tidak bisa menggunakannya dengan baik.
Di sekolah, bahkan sekolah di daerah-daerah terpencil, sudah hampir tidak ada yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar setiap mata pelajaran. Bahkan beberapa sekolah meniadakan mata pelajaran bahasa Sunda, meskipun Pemerintah Jawa Barat mengeluarkan Perda Nomor 5 Tahun 2003 berkaitan dengan "Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah". Dalam hal ini, sekolah wajib memasukkan bahasa Sunda ke dalam kurikulum, bukan semata-mata muatan lokal yang sifatnya seikhlasnya, hanya penghias lembar-lembar buku bersampul lambang Tut Wuri Handayani.
Ternyata Perda tinggallah Perda. Hanya tulisan-tulisan terlupakan dalam arsip-arsip pemerintahan. Jangankan sebagai mata pelajaran inti, sebagai muatan lokal saja saat ini bahasa Sunda tergantikan oleh bahasa-bahasa Internasional. Orang Indonesia malah punya minat khusus untuk mempelajari bahasa asing, hal itu bisa dilihat dari tempat-tempat kursus bahasa yang menjamur, dan jumlah mahasiswa yang terdaftar di fakultas bahasa asing di berbagai Universitas dari tahun ke tahun semakin bertambah. Padahal ada lebih dari 100 bahasa daerah di Indonesia yang menarik untuk dipelajari.
Hampir tidak ada sastra Sunda maupun sastra daerah lainnya menjadi pilihan di fakultas sastra. Kalaupun ada, jumlah mahasiswa di sana dapat dihitung dengan jari. Kebanyakan orang mungkin berpikir bahwa tidak ada lapangan pekerjaan yang menjanjikan untuk seorang sarjana sastra daerah. Kenyataannya memang begitu. Hampir tidak ada penghargaan untuk orang-orang yang dengan senang hati menyediakan waktunya selama empat tahun bahkan mungkin lebih untuk mempelajari budaya bangsa, dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk membuat hal itu tidak menjadi sia-sia.
Sekolah merupakan tempat paling tepat untuk anak-anak mengenal lebih banyak mengenal budaya bangsa yang luar biasa kaya. Tetapi banyak guru yang lupa terhadap masalah tersebut. Semua sibuk memikirkan cara bagaimana agar anak-anak lulus dengan nilai bagus. Ya, nilai, bukan proses pembelajaran. Yang terjadi kemudian adalah target menghabiskan tiap bab dalam kurikulum dengan ulangan atau ujian sebagai indikatornya. Bahkan tidak banyak yang ingat untuk mengajarkan betapa berharganya setiap tahapan ketika mempelajari sesuatu, bukan hanya mencari pengakuan dengan angka. Seolah angka-angka tersebut adalah penentu masa depan.
Sekarang jarang ditemukan sekolah yang mewajibkan muridnya menyanyikan lagu-lagu daerah dalam pelajaran kesenian. Ekstrakulikuler pun kini berbau modern. Beberapa tahun lalu masih banyak ekskul seperti tarian tradisional, degung, dan pencak silat. Kini semua itu hampir musnah karna tidak ada peminatnya. Berganti dengan modern dance, marching band, dan berbagai ekskul lainnya. Semuanya kebarat-baratan. Tidak ada yang melarang hal tersebut. Perkembangan kreatifitas anak muda patut diacungi jempol dalam hal-hal tersebut dan beberapa hal lainnya. Namun kembali pada pokok permasalahan, seberapa besar anak-anak tersebut mencintai budayanya sendiri? Budaya nenek moyang yang memiliki nilai sejarah, namun juga sebenarnya memiliki nilai seni yang tinggi.
Anak-anak khususnya pelajar saat ini terlalu dibawa lari oleh kemajuan zaman yang juga berarti kemewahan. Semua anak gemar bermain PS sendiri di kamarnya, tidak suka bermain dalam tim yang akhirnya tidak tahu bagaimana caranya berbagi. Ya, anak-anak sekarang diciptakan individualis. Waktu istirahat lebih memilih untuk mengotak-atik handphone canggih seri terbaru atau memamerkan ipod dengan koleksi lagu-lagu baru yang bahkan belum ada di toko kaset. Jangan heran kalau itu juga dilakukan oleh anak SD.
Anak SD sekarang tidak seperti anak SD 10 hingga 20 taun ke belakang. Bukan lagi anak-anak SD yang bermain kelereng, bekel, atau lompat karet. Bukan. Mereka bahkan tidak pernah tahu biji karet yang dulu jadi primadona untuk dikoleksi, bukan kartu-kartu bergambar Naruto yang harus ditukar dengan sejumlah uang untuk mendapatkannya, itupun harus merengek terlebih dahulu.
Kesederhanaan. Hal itu merupakan nilai tertinggi dari budaya masa lalu, termasuk permainan tradisional. Betapa kesenangan selalu tercipta dari kesederhanaan memainkan gatrik, gala asin, cing sumput, dan semua permainan lain yang tidak memerlukan biaya bahkan tidak pernah mengeluarkan uang sedikitpun. Dan anak-anak sekarang tidak tahu itu. Kerjasama dalam tim saat ini harus dipelajari dalam sebuah materi khusus team building, dan harus mengeluarkan uang untuk membayar fasilitator atau trainer yang dulunya pun belajar. Padahal kebersamaan, kekompakan, kerjasama selalu tercipta dalam permainan-permainan sederhana. Jika saja permainan-permainan itu dilakukan ketika kecil, maka anak-anak akan terbiasa untuk menerapkan nilai-nilai tersebut ke dalam kehidupannya saat dia besar.
Selain itu, permainan-permainan tradisional lebih ramah lingkungan. Kulit jeruk Bali bisa disulap menjadi sebuah mobil-mobilan yang unik. Daun singkong berubah menjadi orang-orangan yang lucu. Gatrik, egrang, sampai lodong, hanya membutuhkan bambu sebagai alat permainan. Tidak seperti sekarang yang semuanya keluaran pabrik, dibuat dalam jumlah besar yang menghabiskan banyak bahan baku, biaya produksi maupun energi. Tidak lagi murah.
Tulisan ini dibuat dua tahun yang lalu, saya sendiri heran ternyata tulisan ini belum saya masukkan ke blog. Tidak ada kata terlambat untuk memuatnya, dan tidak ada kata terlambat untuk membacanya. ;)
© Copyright Ruang Berpikir. All rights reserved.
Designed by FTL Wordpress Themes | Bloggerized by FalconHive.com
brought to you by Smashing Magazine | Distributed by Deluxe Templates