Akhirnya saya menonton kembali pertunjukan wayang golek di halaman balai kota Bogor. Pertama kali saya menonton wayang golek secara live adalah dua tahun yang lalu di tempat yang sama. Sayangnya, kali ini pun saya tidak bisa menonton hingga akhir karena terlalu malam sedangkan esok paginya saya harus bekerja.
Saya tidak akan membahas mengenai wayang golek sebagai salah satu kesenian tradisional yang sudah tertinggal jaman seperti tulisan saya dua tahun lalu (bisa dibaca di sini, tulisan seriusnya di sini). Tentu saja bukan karena saya sudah tidak peduli terhadap budaya bangsa yang semakin pincang ditendang westernisasi, tetapi karena ada satu hal yang lebih menarik perhatian saya saat ini.
Seminggu yang lalu, saya dibingungkan oleh sebuah peraturan daerah yang saat ini sedang hangat-hangatnya padahal Perda tersebut dibuat Tahun 2009, yaitu tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Saat itu (sampai sekarang pun) saya bingung karena tidak ada sosialisasi mengenai petunjuk teknis pelaporan jika terjadi pelanggaran pada perda tersebut. Maksud saya, peraturan tersebut hanya seperti himbauan yang (ujung-ujungnya) tidak akan dipedulikan masyarakat (pembahasan lebih lanjut silahkan baca di sini).
Nah, malam ini, saat saya menonton wayang golek di halaman balai kota, saya teringat kembali akan slogan Kawasan Tanpa Rokok yang sering saya jumpai di tempat-tempat tertentu dengan tulisan extra besar.
Beberapa hari yang lalu saya mendapat brosur yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kota Bogor mengenai KTR (di sini pun lagi-lagi tidak ada petunjuk teknis pelaporan). Brosur tersebut berisi beberapa hal yang perlu diketahui masyarakat mengenai KTR, termasuk lokasi-lokasi KTR. Lokasi-lokasi tersebut meliputi tempat ibadah, tempat bermain/berkumpulnya anak-anak, kendaraan umum, lingkungan proses belajar mengajar, sarana kesehatan, dan tempat umum lainnya termasuk tempat kerja. Disebutkan pula bahwa kantor pemerintah baik sipil maupun TNI/POLRI adalah salah satu tempat yang termasuk dalam KTR.
Dalam brosur tersebut dijelaskan bahwa KTR adalah tempat dan ruangan yang dinyatakan DILARANG untuk merokok, memproduksi, menjual, dan mengiklankan rokok.
Nah, saya heran kenapa malam ini orang yang menonton wayang golek bisa bebas merokok (bahkan berjualan) di Balai kota yang seharusnya bebas dari asap rokok? Apakah karena malam ini ada pertunjukan wayang golek yang merupakan rangkaian kemeriahan ulang tahun Bogor, jadi pemerintah memberikan dispensasi?
Kalau begitu, nanti pasti akan ada dispensasi pada saat ada acara lain lagi. Acara lagi, dispensasi lagi. Acara lagi, dispensasi lagi. Akan selalu ada dispensasi, pengecualian. Pada akhirnya aturan yang dibuat (dengan tujuan yang baik) menjadi cacat, dan memperlihatkan bahwa pemerintah tidak konsisten dalam membuat suatu aturan. Menjilat ludah sendiri.
Saya setuju dengan ungkapan atau peribahasa dari salah satu tokoh wayang (maaf, saya lupa nama tokohnya): Peuteuy mah hileudna teu ti luar, tapi ti jero. Atau dalam bahasa Indonesia: Petai itu ulatnya bukan dari luar, tapi dari dalam.
Analogi peuteuy dalam kalimat tersebut bisa merujuk kepada sebuah peraturan. Tokoh wayang tersebut menjelaskan bahwa peraturan itu biasanya rusak bukan karena pihak luar, tetapi karena pihak pembuat peraturan itu sendiri. Misalnya, siapa yang membuat Undang-undang mengenai korupsi? Lalu siapa yang melakukan korupsi? Tukang becak kan tidak korupsi.
Sama halnya dengan korupsi, perda KTR pun akhirnya dirusak oleh si pembuat peraturan itu sendiri. Seharusnya pemerintah bisa konsisten dalam memberlakukan atau menerapkan peraturan yang telah dibuatnya, sehingga masyarakat bisa menghargai dan patuh pada peraturan tersebut. Jangan sampai masyarakat berpikir “ah, kemaren juga gak apa-apa”.
Tetapi hal ini kembali pada kesadaran semua pihak, bagaimana dia bisa menempatkan diri dalam lingkungan sosialnya tanpa merugikan orang lain. Jika kesadaran itu sudah kita miliki, tentu kita tidak perlu dibebani oleh berbagai aturan yang malah membuat kita terpaksa melakukannya.
Ada satu kejadian (yang menurut saya) lucu. Pada saat menonton, di samping saya ada bapak yang menonton bersama istri dan kedua anaknya. Tiba-tiba dia mencolek saya dan terjadilah percakapan seperti ini:
Si Bapak: maaf ya, saya mau ngerokok, boleh kan?
Si saya: saya sih ngga apa-apa, cuma kesian anak bapak kena asep rokok.
Si Bapak: oh, kalo anak saya sih ngga apa-apa (dengan muka tanpa dosa).
Jujur, saya sangat kaget dan merasa lucu. Kenapa dia harus meminta izin kepada saya padahal ada dua anaknya yang masih kecil dan akan sangat dirugikan oleh asap rokoknya (walaupun saya juga merasa dirugikan dengan asap rokok itu). Apakah bapak itu lebih merasa tidak enak kepada orang lain daripada memperhatikan kesehatan anaknya? Lagi-lagi tentang kesadaran.
Bogor, 03 Juni 2010
*Selamat ulang tahun Bogorku*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar