Sungguh keadaan yang berbanding terbalik ketika sebuah konser band yang digelar. Semua anak muda di Bogor seolah-olah berkumpul di tempat yang sama, rela berdesakan hanya demi berjingkrak-jingkrak di hadapan sang idola, meskipun akhirnya pingsan juga karena kehabisan nafas.
Pertunjukan Wayang Golek sepintas hanya sebuah hiburan, yang bisa membuat orang tertawa, bahkan terpingkal-pingkal. Namun di balik itu terkandung nilai-nilai religi dan kemanusiaan. Sayangnya, kesenian Jawa Barat ini (lagi-lagi seperti kesenian tradisional lainnya) semakin terseret oleh kemajuan jaman. Para sesepuh bersusah payah mengembangkan kesenian yang termasuk teater tutur ini, tetapi anak muda sudah kadung sibuk mengejar modernisasi. Ironis.
Tidak dapat dipungkiri, hal-hal yang sudah ada sejak jaman baheula semakin jauh tertinggal. Memang, ada beberapa pihak maupun individu yang senantiasa mencintai dan melestarikan kesenian tradisional yang merupakan budaya bangsa. Tapi berapa banyak? Dan sampai kapan akan bertahan??
Antusiasme generasi muda, khususnya di Bogor, terhadap seni dan kebudayaan tradisional hampir tidak ada. Bisa jadi bukan benar-benar tidak suka, tetapi karena tidak mengenalnya. Seperti kata pepatah; Tak kenal maka tak sayang, dan pelaku dengan objek adalah dua hal yang saling berkaitan.
Belasan tahun yang lalu, kesenian Sunda sering ditampilkan dalam berbagai acara hiburan di kampus, acara pemerintahan, hingga acara resepsi pernikahan dan sunatan. Mulai dari reog, calung, sampai jaipongan. Namun saat ini acara-acara semacam itu jarang diadakan. Pagelaran-pagelaran kesenian hanya di tempat-tempat tertentu, dan jarang dengan media publikasi yang jor-joran. Sembunyi-sembunyi, seperti perang gerilya. Padahal yang akan ditampilkan adalah sesuatu milik bangsa, yang seharusnya semua masyarakat mengenalnya.
Acara hiburan yang ditampilkan di setiap panggung pertunjukan hampir tidak pernah menampilkan kesenian tradisional. Di setiap sudut pusat perbelanjaan maupun tempat nongkrong menyuguhkan menu hiburan dengan sajian berbau masa depan. Kain dan kebaya bersaing dengan kaos-kaos ketat tanpa lengan dengan pinggul yang bergoyang merangsang. Suling, kecapi dan seperangkat gamelan tertelan tabuhan drum dan kebisingan alat musik elektrik. Pertunjukkan Reog dan Calung terselip diantara ribuan film-film bioskop dan DVD, dari mulai holywood sampai bolywood. Bubuy Bulan dan Manuk Dadali kalah pamor oleh lagu-lagu Peterpan dan Kangen Band. Keaslian tarik-menarik dengan dunia gemerlap. Glamour.
Berapa banyak anak-anak yang mengetahui lagu-lagu daerahnya? Bandingkan dengan berapa banyak anak-anak yang hafal lagu Teman Tapi Mesra? Perbandingan yang sangat menyedihkan.
Lagu daerah adalah bagian kecil dalam penggunaan bahasa daerah itu sendiri. Seseorang yang terbiasa menggunakan suatu bahasa akan tertarik untuk mendengarkan lagu-lagu dalam bahasa tersebut, karena dengan mudah bisa memahami makna di balik lagu tersebut. Setelah itu, tentu tidak akan sulit untuk menghafalkan sebuah lagu. Namun lagi-lagi itu adalah sebuah masalah. Coba saja lihat penggunaan bahasa daerah. Bogor, yang notabene adalah tanah Sunda, tetapi penggunaan bahasa Sunda sebagai bahasa percakapan sehari-hari hampir tidak terdengar. Sebagian penduduk kota Bogor memang pendatang yang bukan suku Sunda, sangat dimaklumi jika mereka tidak bisa mengerti bahasa Sunda atau tidak bisa menggunakannya dengan baik.
Di sekolah, bahkan sekolah di daerah-daerah terpencil, sudah hampir tidak ada yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar setiap mata pelajaran. Bahkan beberapa sekolah meniadakan mata pelajaran bahasa Sunda, meskipun Pemerintah Jawa Barat mengeluarkan Perda Nomor 5 Tahun 2003 berkaitan dengan "Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah". Dalam hal ini, sekolah wajib memasukkan bahasa Sunda ke dalam kurikulum, bukan semata-mata muatan lokal yang sifatnya seikhlasnya, hanya penghias lembar-lembar buku bersampul lambang Tut Wuri Handayani.
Ternyata Perda tinggallah Perda. Hanya tulisan-tulisan terlupakan dalam arsip-arsip pemerintahan. Jangankan sebagai mata pelajaran inti, sebagai muatan lokal saja saat ini bahasa Sunda tergantikan oleh bahasa-bahasa Internasional. Orang Indonesia malah punya minat khusus untuk mempelajari bahasa asing, hal itu bisa dilihat dari tempat-tempat kursus bahasa yang menjamur, dan jumlah mahasiswa yang terdaftar di fakultas bahasa asing di berbagai Universitas dari tahun ke tahun semakin bertambah. Padahal ada lebih dari 100 bahasa daerah di Indonesia yang menarik untuk dipelajari.
Hampir tidak ada sastra Sunda maupun sastra daerah lainnya menjadi pilihan di fakultas sastra. Kalaupun ada, jumlah mahasiswa di sana dapat dihitung dengan jari. Kebanyakan orang mungkin berpikir bahwa tidak ada lapangan pekerjaan yang menjanjikan untuk seorang sarjana sastra daerah. Kenyataannya memang begitu. Hampir tidak ada penghargaan untuk orang-orang yang dengan senang hati menyediakan waktunya selama empat tahun bahkan mungkin lebih untuk mempelajari budaya bangsa, dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk membuat hal itu tidak menjadi sia-sia.
Sekolah merupakan tempat paling tepat untuk anak-anak mengenal lebih banyak mengenal budaya bangsa yang luar biasa kaya. Tetapi banyak guru yang lupa terhadap masalah tersebut. Semua sibuk memikirkan cara bagaimana agar anak-anak lulus dengan nilai bagus. Ya, nilai, bukan proses pembelajaran. Yang terjadi kemudian adalah target menghabiskan tiap bab dalam kurikulum dengan ulangan atau ujian sebagai indikatornya. Bahkan tidak banyak yang ingat untuk mengajarkan betapa berharganya setiap tahapan ketika mempelajari sesuatu, bukan hanya mencari pengakuan dengan angka. Seolah angka-angka tersebut adalah penentu masa depan.
Sekarang jarang ditemukan sekolah yang mewajibkan muridnya menyanyikan lagu-lagu daerah dalam pelajaran kesenian. Ekstrakulikuler pun kini berbau modern. Beberapa tahun lalu masih banyak ekskul seperti tarian tradisional, degung, dan pencak silat. Kini semua itu hampir musnah karna tidak ada peminatnya. Berganti dengan modern dance, marching band, dan berbagai ekskul lainnya. Semuanya kebarat-baratan. Tidak ada yang melarang hal tersebut. Perkembangan kreatifitas anak muda patut diacungi jempol dalam hal-hal tersebut dan beberapa hal lainnya. Namun kembali pada pokok permasalahan, seberapa besar anak-anak tersebut mencintai budayanya sendiri? Budaya nenek moyang yang memiliki nilai sejarah, namun juga sebenarnya memiliki nilai seni yang tinggi.
Anak-anak khususnya pelajar saat ini terlalu dibawa lari oleh kemajuan zaman yang juga berarti kemewahan. Semua anak gemar bermain PS sendiri di kamarnya, tidak suka bermain dalam tim yang akhirnya tidak tahu bagaimana caranya berbagi. Ya, anak-anak sekarang diciptakan individualis. Waktu istirahat lebih memilih untuk mengotak-atik handphone canggih seri terbaru atau memamerkan ipod dengan koleksi lagu-lagu baru yang bahkan belum ada di toko kaset. Jangan heran kalau itu juga dilakukan oleh anak SD.
Anak SD sekarang tidak seperti anak SD 10 hingga 20 taun ke belakang. Bukan lagi anak-anak SD yang bermain kelereng, bekel, atau lompat karet. Bukan. Mereka bahkan tidak pernah tahu biji karet yang dulu jadi primadona untuk dikoleksi, bukan kartu-kartu bergambar Naruto yang harus ditukar dengan sejumlah uang untuk mendapatkannya, itupun harus merengek terlebih dahulu.
Kesederhanaan. Hal itu merupakan nilai tertinggi dari budaya masa lalu, termasuk permainan tradisional. Betapa kesenangan selalu tercipta dari kesederhanaan memainkan gatrik, gala asin, cing sumput, dan semua permainan lain yang tidak memerlukan biaya bahkan tidak pernah mengeluarkan uang sedikitpun. Dan anak-anak sekarang tidak tahu itu. Kerjasama dalam tim saat ini harus dipelajari dalam sebuah materi khusus team building, dan harus mengeluarkan uang untuk membayar fasilitator atau trainer yang dulunya pun belajar. Padahal kebersamaan, kekompakan, kerjasama selalu tercipta dalam permainan-permainan sederhana. Jika saja permainan-permainan itu dilakukan ketika kecil, maka anak-anak akan terbiasa untuk menerapkan nilai-nilai tersebut ke dalam kehidupannya saat dia besar.
Selain itu, permainan-permainan tradisional lebih ramah lingkungan. Kulit jeruk Bali bisa disulap menjadi sebuah mobil-mobilan yang unik. Daun singkong berubah menjadi orang-orangan yang lucu. Gatrik, egrang, sampai lodong, hanya membutuhkan bambu sebagai alat permainan. Tidak seperti sekarang yang semuanya keluaran pabrik, dibuat dalam jumlah besar yang menghabiskan banyak bahan baku, biaya produksi maupun energi. Tidak lagi murah.
Tulisan ini dibuat dua tahun yang lalu, saya sendiri heran ternyata tulisan ini belum saya masukkan ke blog. Tidak ada kata terlambat untuk memuatnya, dan tidak ada kata terlambat untuk membacanya. ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar